cita-cita… punya siapa?

saya mau jadi astronot. juga pengen jadi kasir.

dua cita-cita (kalau bisa dikatakan begitu) yang tidak seiringan.
ya iyalah tidak seiringan, setidaknya sampe sekarang belum ada supermarket (atau tukang bakso) di luar angkasa yang mana saya bisa nyambi sebagai kasir.
nanti kalau minimal di International Space Station ada yang buka warung dan jualan kopi sachet instant, kaya warung kejujuran yang ada di ruangan kantor saya, baru cita-cita saya itu bisa dibilang akan ada titik temu.

terus kenapa saya pengen jadi astronot?

adalah sebuah cerita dimasa kecil *lalu flashback*. (sebuah ruangan berdinding putih, seorang anak kecil keriting item dengan muka sok tau yang culun duduk menghadap meja bertaplak putih ditemani seorang psikolog yang membawa karton berisi gambar-gambar)
saya kecil sedang mengikuti tes psikologi. pada tes kali itu, saya diperlihatkan bermacam-macam gambar mode transportasi dan disuruh menebak mana yang kecepatannya paling rendah dan mana yang paling tinggi. saya kecil yang belum mengenal roket saat itu, terbengong-bengong melihat sebuah gambar lonjong dengan cucut diujungnya. dan ketika dihadapkan dengan pertanyaan
“mana yang lebih cepat, ini (pesawat) atau ini (roket)?”
Dengan yakinnya saya menunjuk pesawat, yang dijawab dengan gelengan kepala.
Selesainya, saya langsung mengkonfirmasikan pada ayah (satu sosok yang merupakan ensiklopedia hidup buat saya). Dan dimulailah pelajaran tentang luar angkasa, bintang, planet-planet, dan manusia yang berkelana diantaranya. ASTRONOT. yak! saya mau jadi astronot!

terus kenapa kasir?

mungkin itu adalah sebuah pekerjaan yang membuat saya terpana. terpana melihat kelihaian mbak-mbak memencet-mencet keyboard, memasukan kode-kode, yang disambut dengan bunyi “pip” “pip”
“cklek klek klek klek klek klek pip klek klek klek cekcekceklek klek pip pip pip klek pip klek, semuanya tiga ribu lima ratus” “uangnya lima ribu ya, cklek klek klek klek pip jgreg *pintu uang terbuka* sep sep sep klek klek cretek *nutup pintu uang*, pripipipipipipipipit. *ngerobek kertas nota* kembaliannya seribu lima ratus. terima kasih.”
WOW BANGET!
nada-nada yang merdu buat saya saat itu. dan dimulailah permainan menjadi kasir dengan bantuan kalkulator tukang daging milik ibu saya.

lalu bagaimana arah hidup saya? apakah jalur hidup saya itu berjalan karena cita-cita saya?

selepas SMU, saya galau mau melanjutkan kemana.
matematika dan teknik mesin jadi pilihan saya. kenapa? karena saya jatuh cinta pada matematika *geek!* dan teknik mesin berkesan keren ajah buat perempuan. hahaha. dan keduanya ga ada hubungannya dengan astronot, apalagi kasir!
tapi lalu ibu saya mencoret impian saya untuk masuk matematika, karena seorang sepupu yang adalah mahasiswa matematika menggunakan penggaris untuk memotong kue brownies buatannya. hahaha…
dan meminta saya untuk memilih informatika. dan atas dasar “takut tidak mendapat restu orang tua”, saya pun memilih informatika sebagai pilihan pertama, dan kedua… tentunya tidak boleh matematika.. lalu teknik mesin? gila aja, passing grade-nya ga jauh dari informatika.
setelah membulak-balik daftar jurusan, akhirnya mata saya tertuju pada teknik penerbangan.
apapun itu, terdengar keren! dan menclok lah saya di jurusan tersebut dengan nomer urut 41.

lalu mana astronot? mana kasir nya? dan mana usaha saya menggapai keduanya?
jurusan, saya pilih karena “keren”. universitas, adalah kasih tak sampai ibu saya.
kuliah. lulus. kerja.

lalu S-2. jurusan, karena ada beasiswa dan iming-iming keluar negeri. universitas, kembali ke kampus lama.
apakah S-2 saya karena astronot? atau kasir? atau ada yang ingin anaknya S-2?
saat itu, saya punya alasan saya sendiri. yang cukup menjanjikan, keren, dan valid menurut saya.

tapi kemudian saya berfikir…
apakah saya mau S-2 karena saya mau S-2, atau saya mau S-2 karena selalu diingatkan untuk S-2?
yang pasti S-2 itu tidak ada hubungannya dengan astronot. apalagi kasir.
lalu keinginan untuk sekolah lagi itu kenapa?
karena saya mau? atau saya mau karena ada yang mau? atau saya mau karena saya selalu diingatkan untuk mau?

lalu saya disini sekarang. seperti ini.
tentu saja bukan semuanya saya.
saya.
cita-cita saya.
hidup saya.
apakah itu saya?
.
.
.
#lagi-lagi sebuah pemikiran yang didorong oleh kehadiran Unyil.
Mau dibawa kemana hidup Unyil.
Goresan apa yang akan saya gambarkan pada diri Unyil.
Cita-cita apa yang akan saya kenalkan pada Unyil.

Seperti pertanyaan seorang teman ketika Unyil baru tiba di muka bumi.
“nama anak loe siapa? cita-citanya apa?”. ya kali, cita-cita harus ditulis di akte kelahiran!